Opini



Rubrik OPINI ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menyampaikan idé dan gagasan seputar persoalan kemasyarakatan, sosial, pemerintahan, gereja dll. Tulisan tidak bersifat fitnah, berbau SARA dan provokativ. Tulisan diketik minimal 3 halaman HVS, diketik spasi ganda dengan font ukuran huruf 12. Tulisan anda dapat diantar langsung ke Redaksi OBOR HALMAHERA Ruang INFOKOM Kantor Sinode GMIH Jl kemakmuran Tobelo. Atau bias dikirim via email ke : infokom.gmih@yahoo.com. Jangan lupa lampirkan fotokopi kartu identitas anda yang masih berlaku


OMPONGNYA AKADEMISI TOBELO
Menyorot keterlibatan sejumlah Akademisi Tobelo dalam Gerakan pembaharuan GMIH
·         EGBERT HOATA
            Dalam sebuah percakapan di warung kopi dengan teman teman wartawan beberapa hari lalu, sempat kami sedikit berdiskusi tentang sebuah kemajuan besar di Tobelo.  Salah satu kemajuan besar yang dilihat kami sebagai wartawan adalah saat ini kelompok Akedemisi (Dosen) di Tobelo sudah mulai berani bersikap kritis dengan apa yang sedang terjadi di sekitar mereka.  Ini dibuktikan dengan tampilnya sejumlah besar kaum akademisi dari beberapa Perguruan Tinggi yang bergabung dalam sebuah kelompok pembaharuan untuk mengkritisi sebuah lembaga keagamaan yang ada di daerah ini.
            Betapa hal ini menjadi sesuatu yang sangat menarik  untuk kami didiskusikan.  Sebab harus diakui dengan jujur,  selama ini wartawan yang bertugas di daerah ini sangat kesulitan untuk meminta komentar kaum akademisi terhadap sebuah persoalan masyarakat yang sedang terjadi.  Apalagi jika itu menyangkut kebijakan kebijakan keliru dari Pemkab Halut di bawah kepemimpinan Ir Hein Namotemo.  Alih alih mau dikasih komentar tajam dan kritis, mau bersuara saja para Kaum Akademisi Tobelo sama sekali tidak mau.
            Seorang mantan reporter Radio saya pernah bilang ke saya begini kalau ia sangat malas bertugas di Kota Tobelo ini. Sebab untuk mencari komentar dan steatmen Akademisi yang kritis di  Tobelo ini seperti mencari barang yang sangat langka.  Ia membandingkan dengan Kaum akademisi di Jakarta, Makassar, Manado dan Ternate.  Kaum akademisi dengan intelektualnya dan pengetahuannya menjadi pilar utama dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan menyimpang.   Kita lihat bagaimana reformasi tahun 1997 bisa sukses karena ada peran serta akademisi Seperti Amin Raies, Arief Budiman, Wimar Witoelar dll.  Di Ternate juga ia melihat bagaimana sejumlah kasus penyimpangan anggaran keuangan bisa terbongkar karena ada kepedulian dari kelompok akademisi Ternate yang bergabung dalam LSM  Makuwaje.  Sedangkan akademisi Tobelo, mantan reporter saya ini bilang mereka adalah “Kelompok kaum berilmu yang sangat  penakut”.
            Rasanya tak keliru pandangan seperti itu.  Sejujurnya harus diakui bahwa masyarakat sangat berharap peran dan kepedulian kelompok orang terpelajar yang disebut kaum akademisi ini.  Sebab mereka adalah kelompok orang yang berpendidikan tinggi dan pengetahuan mumpuni.  Selain itu mereka adalah kaum manusia berpikiran bebas yang tak bisa dikekang oleh siapapun juga, termasuk pemerintah. Mereka punya satu hak yang namanya hak kebebasan berpikir dan berpendapat sesuai dengan pengetahuan akademiknya.
           Apa yang terjadi dengan kondisi kaum Akademisi Tobelo ini sungguh sangat miris.  Sangat jarang sekali kita temui komentar atau sikap mereka terhadap sebuah kebijakan Pemerintah Halut yang menyimpang atau tidak pro rakyat yang dapat dimunculkan lewat media massa.  Malah kita mungkin bisa berpendapat dengan melihat kenyataan yang ada bahwa akademisi Tobelo ini sudah seperti PNS Pemkab Halut yang kerjanya membela kebijakan pimpinannya, sekalipun ada yang salah.  Padahal kita sama sama tahu bagaimana bobroknya manejemen pengelolaan proyek dan penganggaran proyek di daerah Halut ini.  Tapi hampir seluruh akademisi di Tobelo ini diam seribu bahasa seakan tak peduli dengan kondisi itu. Mungkin dari ratusan akedemisi di Tobelo ini hanya Dominggus Isack Bitjara, satu satunya akademisi yang berani bersuara lantang dan kritis terhadap kepentingan masyarakat banyak.
            Lalu pertanyaannya, mengapa sampai kondisi seperti itu terjadi ?  Saya teringat sebuah pengajaran penting saat menempuh kuliah Pasca Sarjana di UKIP Makassar beberapa tahun lalu.  Almarhum Prof Mr Zainal Abidin Farid (Guru besar dan pakar Hukum Pidana Indonesia) pernah berkata begini   :” Jika anda merasa adalah seorang akademisi, maka tugas dan tanggung jawab sosial anda adalah ikut serta mengkritisi setiap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan menyimpang dari aturan.  Masyarakat tidak berharap kepada kelompok lain tetapi hanya kepada anda, kaum akedemisi.  Masyarakat tahu anda adalah orang orang yang bebas berpikir karena keilmuannya.  Jadi jangan takut untuk menjadi kritis.  Hanya dua sebab seorang akademisi menjadi penakut :  Pertama, karena ia tidak tahu apa yang akan dikritisinya dan Kedua  karena ia tidak mau menjadi kritis”.
            Dalam konteks akademisi Tobelo, saya melihatnya bahwa penyebab selama ini mereka menjadi penakut bukan karena faktor pertama.  Akademisi (dosen) sejumlah PTS di Tobelo adalah alumni sejumlah PTN/PTS ternama nasional.  Sangatlah tidak masuk akal jika mereka tidak tahu persoalan persoalan di Kabupaten ini, seperti Gaji Fiktif,  Bedah rumah, tertundanya pembayaran Sertifikasi Guru,  manejemen kepegawaian yang amburadul,  proyek APBN/APBD yang selalu terlambat, dan masih banyak lagi.  Apalagi mereka adalah akademisi yang menguasai ilmu Hukum, pemerintahan, Manejemen keuangan, admistrasi pemerintahan, akuntasi dll.  Kapasitas ilmu seperti  itu akan sangat memudahkan mereka untuk mengkritisi kebijakan pemerintahan kabupaten Halmahera utara yang menyimpang, jika mereka mau.
            Ketidakberdayaan kaum akademisi Tobelo ini menurut saya disebabkan oleh penyebab kedua, seperti yang dikatakan oleh dosen S2 saya yang adalah pakar hukum pidana tadi yaitu karena mereka tidak mau menjadi kritis saja.
           Lalu pertanyaan selanjutnya, kira kira apa yang menjadi penyebab para akademisi di Tobelo ini menjadi “Singa ompong”  dalam mensikapi kebijakan menyimpang Pemkab Halut selama ini ?
            Jika kita telusuri kenyataan yang ada mengenai keberadaan sejumlah perguruan tinggi yang ada di Tobelo ini,  fakta membuktikan kalau kemandirian mereka dalam hal pembiayaan masih sangat jauh dari harapan.  Perguruan tinggi yang ada masih harus “menetek” ratusan juta setiap tahun kepada APBD Halut untuk menutupi berbagai kebutuhan keuangan mereka, (mungkin) termasuk juga di dalamnya untuk membayar gaji para akademisinya (dosen).  Kalau kenyataannya sudah seperti ini, masihkan kita bisa berharap para akademisi di Tobelo ini akan menjadi kaum kritis yang siap mengkuliti kebijakan pemkab Halut yang menyimpang dan siap pasang badan untuk membela kepentingan masyarakat banyak ?  Mungkinkah masyarakat Tobelo berharap akan lahir akademisi kritis dan berani dari daerah ini seperti Amien Rais (Jogya), Prof Sahetapy (Surabaya), Marwan Mas (Makassar), Margarito Kamis (Ternate) dll  ?  Rasanya harapan itu hanyalah mimpi di siang bolong, yang tak akan pernah terwujud.
            Hati nurani para akademisi di Tobelo pastilah terusik dengan sejumlah persoalan yang terjadi di daerah ini.  Pada dasarnya, jiwa dan hati mereka mau mengkritisi itu.  Tapi mereka tidak mau karena mereka takut.  Berani berseberangan dengan Pemkab Halut melalui kritikan kritkan pedasnya, maka bersiaplah untuk menerima malapetaka besar yaitu penahanan kucuran dana bagi kampusnya.  Jika itu sampai terjadi maka “asap dapur rumah tangga akademisi tersebut” tidak akan mengepul lagi.  Belum lagi jika akademisi Tobelo itu punya isteri/suami atau keluarga dekatnya adalah PNS Pemkab Halut.  Mereka akan lebih tidak berani lagi.  Takut kalau kalau setelah keluar kritikan tajam mengenai kebijakan Pemkab yang inkonstitusional, maka mungkin keluarga dekatnya itu akan langsung jadi korban di Nonjobkan, dumutasi dll. 
            Hanya dua cara yang menurut saya bisa menolong para akademisi Tobelo  memiliki sikap kritisnya.  Pertama, Perguruan Tinggi di Tobelo jangan terlalu berharap dari bantuan keuangan Pemkab setiap tahun.  Mandirilah dalam hal keuangan.  Hal ini akan sangat menolong para akademisinya menjadi kritis dan berani bersuara karena tidak terbebani dengan ancaman penyetopan bantuan APBD dari Pamkab Halut. Kedua, milikilah pemikiran bahwa rejeki dan nafkah hidup kita sebagai akademisi itu bukan ditentukan dan diatur oleh Bupati Halut dengan pengucuran APBDnya.  Jika kita sadar profesi sebagai seorang akademisi yang adalah profesi yang mulia, tidak bisa dibatasi kebebasan berpikir oleh siapapun, kita akan menjadi akademisi yang berani bersuara lantang membela kepentingan masyarakat.  Tuhan yang melihat sikap kita berani membela kepentingan banyak orang, pastilah tidak akan membiarkan anak isteri kita mati kelaparan.
            Keberanian sejumlah akademisi Tobelo yang saat ini sedang mengkritisi kebijakan satu lembaga keagamaan di Halmahera, seperti bahan percakapan saya dengan teman teman wartawan di awal tulisan ini, semoga saja menjadi awal kebangkitan.  Para akademisi di Tobelo mulai bangkit dari tidur mereka yang panjang dalam mengemban fungsi sosial mereka.  Para akademisi ini akan menjadi pilar utama dalam mengkritisi kebijakan Pemkab Halut yang menyimpang dan tidak pro rakyat.
            Jika hal itu tidak terjadi maka masyarakat akan semakin mencibir profesi akademisi di Tobelo.  Masyarakat akan berkata para akademisi (dosen) di Tobelo ini hanya berani mengkritisi kebijakan Pdt Anton Piga dan Pdt Demianus Ice saja.  Terhadap lembaga keagamaan, mereka seperti “Singa jahat” yang siap menerkam mangsanya mentah mentah dengan konsep pembaharuan.  Tapi terhadap kebijakan pembangunan Pemkab Halut dibawah kepemimpinan Bupati Hein Namotemo,  para akademisi (dosen) yang ada dari sejumlah Perguruan tinggi ini hanya menjadi “Singa ompong” atau seperti “bebek yang berbaris rapi” mengikuti perintah tuannya.
            Jika akademisi di Tobelo menjadi kelompok masyarakat yang kritis, maka media massa pun akan tidak kesulitan mendapatkan beragam pikiran cerdas dan kritis untuk dipublikasikan kepada banyak orang.
           Semoga saja ungkapan kalimat “Lihat, Aku menjadikan semuanya menjadi baru” bukan saja terjadi dalam gagasan pikiran pembaharuan lembaga keagamaan yang ada di Halmahera ini.  Tapi lebih dari itu,  Tuhan akan menjadikan mentalitas Akademisi (Dosen) di Tobelo yang selama ini dikenal sebagai “kelompok orang berilmu yang  penakut” diubah menjadi kelompok kaum intelektual yang kritis dan berani membela kepentingan banyak orang.  Termasuk berani mengkritisi kebijakan Pemkab Halut yang banyak sekali harus dikritisi. Semoga.



·         Egbert Hoata
Penulis adalah Direktur Pusat advokasi Hukum
Dan HAM “SYALLOM” Halmahera utara dan sekretaris Biro Hukum, Demokrasi dan HAM GMIH