MUTASI NGAWUR ALA PEMKAB HALUT
TOBELO
(O’HARA) Mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) idealnya untuk membuat penyegaran
dalam tugas tugas kepegawaian. Ini sejalan dengan amanat Pemerintah pusat
melalui sejumlah edaran dari Kementerian Pendayagunaan aparatur Negara dan
Birokrasi Reformasi RI.
Tapi sayang
sekali, nampaknya hal itu tidak berlaku di Pemerintah Kabupaten Halmahera
Utara.
Mutasi PNS
secara massal yang dilakukan oleh Bupati Ir Hein Namotemo pasca kekalahannya dalam
Pemilihan Gubernur Maluku utara 2013 lalu, ternyata menimbulkan tanda Tanya
besar di kalangan PNS dan keluarganya yang dimutasi.
Ini bisa
dilihat dengan sejumlah nama yang mengalami mutasi tersebut. Data yang
diperoleh O’HARA menunjukan bahwa telah 35 SK mutasi yang dikeluarkan oleh
Bupati Halut ini terhitung sejak Agustus – 31 desember 2013 seluruhnya adalah
PNS yang menolak keras ikut melibatkan diri dalam sebuah kelompok sempalan dan
illegal yang coba didirikan dalam tubuh GMIH.
Sejumlah nama
PNS Halut yang dimutasi diantaranya
Isteri Ketua Sinode GMIH, isteri Kepala Biro Infokom GMIH, Saudara dari
Sekretaris Biro personalia GMIH, isteri wakil ketua 2 BPHS GMIH, isteri dari
Korwil Galela, isteri dari sekretaris Kaum bapak Sinode, isteri dari Korwil
Tobelo selatan, suami dari korwil Kao utara, suami dari ketua jemaat Bethesda
Daru, Sekretaris BPHJ Kao, wakil ketua BPHJ Kao, Saudara dari anggota Biro
hukum GMIH, serta masih banyak lagi.
Dari sejumlah
nama tersebut, ternyata mereka adalah warga GMIH yang menolak keras untuk
bergabung dengan kelompok SSI.
Sebenarnya
persoalan tidak sesederhana itu, karena yang sesungguhnya membuat mutasi massal
ini menjadi “ngawur” adalah karena ditemukan sejumlah kejanggalan dari SK
tersebut.
Abraham
Nikijuluw SH staf Biro Hukum GMIH menemukan adanya kejanggalan itu. Ia menilai
bahwa kejanggalan dalam SK tersebut sangat fatal bukan saja dari sisi
admistrasi tapi juga dari segi esensinya.
Ia member
contoh. Dari 10 PNS yang dinonjobkan yang datanya masuk ke Biro Hukum GMIH,
ternyata semuanya tidak melalui mekanisme PP 53.
“Penurunan
jabatan itu khan masuk dalam kategori Hukuman disiplin berat. Tapi nyatanya
berdasarkan aturan PP 53 seorang PNS yang diberi hukuman disiplin berat itu
harus melalui sejumlah proses seperti teguran lisan atau tertulis dari
atasannya. Tapi nyatanya para PNS ini tidak pernah diberikan teguran seperti
itu” katanya.
Abraham juga
menemukan sejumlah kesalahan fatal dalam SK Bupati tersebut. Ia mencontohkan,
ada dua buah SK mutasi untuk 2 orang PNS tapi anehnya Nomor SK Bupati tersebut
sama. Ia menunjukan SK atas nama Agustina Anthonia Wenno yang dimutasikan ke
SMPN 10 Loloda dan SK Ferry Sariwating yang dimutasikan ke SMPN 6 Satu atap
Galela. Kedua SK Bupati ini dengan nomor yang sama yaitu Nomor
824.4/168/BKD.PP/KEP/PD/2013 tertanggal 13 Nopember 2013.
Sejumlah
kejanggalan dan “kengawuran” lain diantaranya : SK Mutasi Efroni Tos Hendrik,
pangkat terahirnya adalah III a tapi SK mutasinya memuat yang bersangkutan
berpangkat IIc. Hal yang sama juga terjadi pada Wilsemina Ayawaila dan Nofeana
Huragana. Wilsemina pangkat terahir adalah IIId tapi SK mutasi tertulis yang
bersangkutan pangkatnya IIIa sedang Nofeana pangkat terahir adalah IId tapi
dalam SK mutasi tertulis pangkatnya IIc.
Melyana
Mhundingan, jabatan lama adalah Kabid Badan pemberdayaan perempuan kemudian
dinonjobkan sebagai staf Badan Lingkungan Hidup pada tanggal 26 April
2013. Tapi aneh bin ajaib, pada bulan
Nopember 2013, PNS ini mendapat penghargaan dari Presiden RI dalam kapasitasnya
sebagai Kabid di Badan pemberdayaan perempuan (Jabatan lama). Pertanyaannya,
berarti Pemerintah pusat tidak tahu kalau yang bersangkutan sudah dimutasikan
sebagai staf BLH ataukah SK mutasi tersebut tidak ditembuskan ke pusat ?
Keanehan lain
muncul lagi. Efraim Oni hendrik, dimutasikan dari SMP Pediwang ke SMPN 1 Loloda
utara. Setelah PNS yang bersangkutan pergi melapor ke Loloda utara, ternyata
sekolah tersebut tidak ditemukan sama sekali.
Abraham
Nikijuluw SH juga sangat prihatin dengan sejumlah kejanggalan lain, “Coba anda
banyangkan. Ada tiga guru agama Kristen yang dimutasikan ke sekolah yang tidak
ada muridnya beragama Kristen. Ada motivasi apa dari Bupati dibalik semua ini
?” Tanya pria pemberani ini.
Abraham
Nikijuluw juga memaparkan bahwa sejumlah nama yang tertulis dalam SK tersebut
penulisan namanya tidak sesuai dengan SK pengangkatan PNS. Ia menyayangkan akan
hal tersebut sebab bagaimanapun juga SK Bupati itu adalah dokumen Negara,
kenapa harus dibuat dalam keadaan yang seperti itu. “Keabsahannya sangat
diragukan jika salah ketik nama”.
Bersama anggota Biro Hukum GMIH, mereka sudah
mengkaji dasar mutasi dari pemkab Halut kepada 35 guru PNS ini. Kesimpulannya,
dasar mutasi karena Pemkab ingin pemerataan Guru di sejumlah sekolah di Halut
sangat tidak masuk akal.
Menurut Biro
Hukum GMIH, jika tujuan mutasi Guru PNS karena Pemkab ingin pemerataan maka
Bupati harus menarik juga sejumlah Guru yang saat ini dikaryakan ke jabatan
structural dalam SKPD Halut. “Jangan bicara pemerataan dan jangan bicara
kekurangan guru. Justeru kami mempertanyakan kenapa ada sejumlah guru diangkat
jadi Camat atau Kepala seksi dan kepala bidang di sejumlah SKPD di Halut ini ?
Bupati harus menarik mereka semua itu untuk kembali menjadi guru” ujar Pria
sapaan akrab Bram ini.
Mengenai
langkah langkah yang dilakukan oleh Biro Hukum GMIH dalam mengantisipasi para
PNS ini menjadi korban, Abraham lebih lanjut memaparkan bahwa mereka telah
mengutus Egbert Hoata untuk melaporkan masalah ini langsung ke Mendagri,
Mendiknas, Pengurus Pusat KORPRI dan pengurus Besar Persatuan Guru Republik
Indonesia (PB PGRI).
“Pak Egbert
sudah kembali dari Jakarta dan kita dapat dukungan besar dari Pusat.” Ujarnya
seraya memperlihatkan surat dari PB PGRI kepada Bupati Halut.
Mengenai
langkah hukum, ia mengatakan bahwa ke 35 PNS ini sudah berkomitmen untuk
menggugat SK Bupati tersebut lewat jalur PTUN Ambon. Direncanakan pada
pertengahan Februari ini gugatannya sudah dimasukan “Khan surat pernyataan
keberatan PNS yang dimutasi itu sudah disampaikan ke Bupati, kami tinggal
masukan gugatan saja”.
Terhadap
adanya ancaman intimidasi kepada PNS yang akan melakukan gugatan PTUN tersebut,
Abraham tidak terlalu menghiraukannya.
“Saya secara
pribadi bisa lihat, kalau dulu PNS Halut begitu ketakutan jika Bupati
menyampaikan sebuah perintah. Mereka suka atau tidaak suka akan tetap
melaksanakannya. Tapi kalau sekarang ini situasi sudah berubah. Mungkin karena
teman teman PNS ini beranggapan bahwa masa kepemimpinan Bupati sudah tinggal
hitungan bulan saja, maka mereka berani melawan jika ada kebijakan Bupati yang
dinilai bertentangan dengan aturan kepegawaian. Malah sebagian besar PNS ini
berprinsip, kalau Bupati sudah berganti tahun depan, maka karier mereka akan
lebih cemerlang lagi”.
Abraham
memberikan bukti “Coba anda lihat, tawaran Bupati supaya para PNS ini datang
kepadanya meminta maaf karena tidak ikut SSI, tidak direspon sama sekali oleh
para PNS tersebut. Yang datang minta maaf itu khan hanya satu dua orang suami
pendeta pengecut, yang hanya memikirkan perutnya. Tapi PNS yang lain tetap
bersikukuh bahwa tindakan mereka setia pada GMIH hasil Sidang Sinode Dorume
adalah langkah tepat dan direstui Tuhan”.
O’HARA juga
sempat mendengar ungkapan dari sejumlah PNS yang dimutasi tersebut saat
bertandang ke kantor Redaksi awal februari lalu. “Mati kalu mati, kami tidak
akan pernah pergi minta maaf. Bagi kami tidak ikut kelompok SSI itu adalah
jalan yang dikehendaki Tuhan Yesus. Toh, Bupati sekarang pe masa hanya tinggal
hitung bulan saja” (Tgy)